PEMBAHASAN
A. Pengertian Kebijakan Pendidikan
Secara etimologis kata kebijakan disepadankan dengan kata bahasa Inggris policy yang dibedakan dari kata wisdom yang berarti kebijaksanaan atau kearifan. Kata policy dapat pula dijumpai dalam bahasa-bahasa lain seperti latin, yunani dan sankrit. Polita dalam bahasa latin berarti Negara. Polis dalam bahasa yunani berarti negara kota. Pur dalam bahasa sanskrit berarti kota. Policie dalam bahasa inggris berarti: mengurus masalah atau kepentingan umum atau juga administrasi Negara.
Menurut Supandi, dari beberapa kata yang tersebut menghasilkan tiga jenis pengertian yang sekarang kita kenal, yaitu politic, policy dan polici. Politic berarti seni dan ilmu pemerintahan, policy berarti hal-hal mengenai kebijakan pemerintah, sedangkan polici berarti hal-hal yang berkenaan dengan pemerintahan.Sedangkan secara terminologis istilah kebijakan memiliki arti yang sangat beragam diantaranya: Menurut Ealau dan Prewitt, kebijakan adalah sebuah ketetapan yang berlaku yang dicirikan oleh perilaku yang konsisten dan berulang, baik dari yang membuatnya maupun yang mentaatinya (yang terkena kebijakan itu). Kamus Webster memberi pengertian kebijakan sebagai prinsip atau cara bertindak yang dipilih untuk mengarahkan pengambilan keputusan. Titmuss mendefinisikan kebijakan sebagai prinsip-prinsip yang mengatur tindakan yang diarahkan kepada tujuan-tujuan tertentu. Kebijakan, menurut Titmuss, senantiasa berorientasi kepada masalah (problem-oriented) dan berorientasi kepada tindakan (action-oriented).
3 |
yang dipilih untuk mengarahkan pengambilan keputusan. Dalam uraian lengkapnya Dodik menekankan bahwa ada hubungan segi tiga antara kebijakan, kebijaksanaan dan kebajikan. Artinya bahwa kebijakan yang bijaksana akan berakibat pada kebajikan. Satu sudut yang satu dengan yang lain tidak boleh ada yang timpang. Bila dikaitkan dengan kebijakan yang kita amati dalam keseharian. Terdapat beberapa kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah, namun hanya berlaku untuk satu golongan, sementara golongan tertentu, karena ada unsur KKN kebijakan itu tidak berlaku. Bisa ditebak akan terjadi ketimpangan dalam pelaksanaannya. Tri Widodo Wahyu Utomo, SH dalam Pengantar Kebijaan Publik memberikan gambaran kebijakan yang dikemukaan oleh PBB, menurut Widodo PBB memberikan definisi kebijakan dengan pedoman untuk bertindak. Pedoman itu dapat sederhana atau komplek, umum atau khusus. Luas atau sempit, kabur atau jelas, longgar atau
terperinci, publik atau privat kuaitatif atau kuantitatif. Ali Imron dalam bukunya Kebijakan Pendidikan di Indonesia mengemukakan pengertian kebijakan dari beberapa ahli, diantaranya:
1. Laswell (1970) , kebijakan sebagai suatu program pencapaian tujuan, nilai-nilai dan praktik yang terarah (a projected program of goals value and practies).
2. Anderson (1979), Kebijakan sebagai serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang mesti diikuti dan diakukan para pelakunya untuk memecahkan suatu masalah. (a purposive corse of problem or matter of concern).
3. Helco (1977), memberiakan batasan kebijakan sebagai cara bertindak yang
sengaja dilaksanakan untuk menyelesaikan masalah-masalah.
sengaja dilaksanakan untuk menyelesaikan masalah-masalah.
4. Amara Raksasa Taya (1976) memberikan batasan kebijakan sebagai suatu taktik atau strategi yang diarahkan untuk mencapai tujuan.
5. Friedrik (1963) memberikan batasan kebijaksanaan sebagai serangkaian tindakan yang diajukan oleh seseorang, grup dan pemerintahan dalam lingkungan tertentu dengan mencantumkan kendala-kendala yang dihadapi serta kesempatan yang memungkinkan pelaksanaan usulan tersebut dalam upaya mencapai tujuan. (a proposes course of action of a person, group, or govermen with is given environment providing abtacles and aportunities with the policy was proposed to utilize on objective or purpose).
Dari banyak pengertian tentang kebijakan di atas banyak pemaparan yang sama
yaitu gambaran bahwa kebijakan adalah suatu proses yang sangat panjang dan kepentingan yang beragam. Di dalamnya terdapat ketetapan-ketetapan yang memuat prinsip-prinsip untuk mengarahkan cara-cara bertindak yang dibuat secara terencana dan konsisten dalam mencapai tujuan tertentu.
yaitu gambaran bahwa kebijakan adalah suatu proses yang sangat panjang dan kepentingan yang beragam. Di dalamnya terdapat ketetapan-ketetapan yang memuat prinsip-prinsip untuk mengarahkan cara-cara bertindak yang dibuat secara terencana dan konsisten dalam mencapai tujuan tertentu.
Ali Imron dalam bukunya Analisis Kebijakan Pendidikan menjelaskan bahwa kebijakan pendidikan adalah salah satu kebijakan Negara. Carter V Good (1959) memberikan pengertian kebijakan pendidikan (educational policy) sebagai suatu pertimbangan yang didasarkan atas system nilai dan beberapa penilaian atas faktor-faktor yang bersifat situasional, pertimbangan tersebut dijadikan sebagai dasar untuk mengopersikan pendidikan yang bersifat melembaga. Pertimbangan tersebut merupakan perencanaan yang dijadikan sebagai pedoman untuk mengambil keputusan, agar tujuan yang bersifat melembaga bisa tercapai.
Kebijakan pendidikan sangat erat hubungannya dengan kebijakan yang ada dalam lingkup kebijakan publik, misalnya kebijakan ekonomi, politik, luar negeri, keagamaan dan lain-lain. Konsekuensinya kebijakan pendidikan di Indonesia tidak bisa berdiri sendiri. Ketika ada perubahan kebijakan publik maka kebijakan pendidikan bisa berubah. Ketika kebijakan politik dalam dan luar negeri, kebijakan pendidikan biasanya akan mengikuti alur kebijakan yang lebih luas. Bahkan pergantian menteri dapat pula mengganti kebijakan yang telah mapan pada jamannya. Bukan hal yang aneh,ganti menteri berganti kebijakan. Masih ingat di benak kita ada pelajaran PSPB yang secara prinsipil tidak jauh berbeda dengan IPS sejarah dan lucunya materi itu pun di pelajari di PMP (sekarang PKN/PPKN).
B. Pengertian Negara Berkembang
Negara berkembang adalah sebuah negara dengan rata-rata pendapatan yang rendah, infrastruktur yang relatif terbelakang, dan indeks perkembangan manusia yang kurang dibandingkan dengan norma global. Istilah ini mulai menyingkirkan Dunia Ketiga, sebuah istilah yang digunakan pada masa Perang Dingin.
Perkembangan mencakup perkembangan sebuah infrastruktur modern (baik secara fisik maupun institusional) dan sebuah pergerakan dari sektor bernilai tambah rendah seperti agrikultur dan pengambilan sumber daya alam. Negara maju biasanya memiliki sistem ekonomi berdasarkan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan menahan-sendiri. Penerapan istilah 'negara berkembang' ke seluruh negara yang kurang berkembang dianggap tidak tepat bila kasus negara tersebut adalah sebuah negara miskin, yaitu Negara yang tidak mengalami pertumbuhan situasi ekonominya, dan juga telah mengalami periode penurunan ekonomi yang berkelanjutan (Anan, 2010)
C. Kebijaksanaan Pendidikan di Negara-Negara Berkembang
Kebijaksanaan pendidikan di negara-negara berkembang umumnya berasal dari warisan Kebijaksanaan pendidikan kaum kolonial. Dikatakan demikian, oleh karena negara-negara berkembang pada saat baru pertama kali merdeka belum sempat membangun kebijaksanaan pendidikannya sendiri berdasarkan kebutuhan realistik rakyatnya. Kemerdekaan yang telah dicapai di bidang politik tidak dengan sendirinya diikuti oleh kemerdekaan di bidang lainnya, lebih-lebih dibidang pendidikan.
Achmad Icksan (1985) mengidentifikasi ciri-ciri kebijaksanaan pendidikan yang merupakan warisan kaum kolonial. Pertama, sifatnya yang elastis, atau lebih banyak memberikan kesempatan kepada sekecil masyarakat dan tidak lebih banyak memberikan kesempatan kepada sebagian besar masyarakat. Realitas demikian tampak mula-mula pada awal-awal kemerdekaan terutama dalam hal kesempatan mendapatkan layanan pendidikan, meskipun pengejawantahannya akhirnya lebih bersentuhan dengan persoalan mutu pendidikan. Tampak sekali, bahwa layanan pendidikan yang bermutu, tetap dinikmati oleh kalangan terbatas, sementara kalangan kebanyakan sekedar mendapatkan layanan pendidikan yang dari segi kualitas sangat memprihatinkan. Keluhan mengenai mutu pendidikan yang akhir-akhir ini pernah mencuat ke permukaan, agaknya dapat dilihat dari sudut pandang ini.
Kedua, berorientasi sosio-ekonomik. Orientasi sosio-ekonomik demikian, berkaitan erat dengan jaringan ekonomi internasional di mana negara-negara maju berposisi sebagai sentranya sementara negara-negara berkembang sekedar sebagai periferalnya. Dalam kedudukan sebagai periferalnya, negara berkembang umumnya secara ekonomik masih tinggi tingkat dependensinya terhadap negara maju. Bantuan-bantuan yang diberikan dalam bentuk pinjaman bagi pelaksaan pendidikan di negara-negara berkembang, umumnya justru memperkukuh dependensi tersebut. Jika secara ekonomik hal demikian masih bergantung dan belum mandiri, maka dalam hal strategi pencapaian tujuan pendidikannya pun juga masih tetap bergantung. Tidak jarang, pembaruan-pembaruan dibidang pendidikan, umumnya dimulai dari negara maju, dan begitu dinegara maju sudah ditinggalkan, baru mulai dan digalakkan dinegara-negara berkembang. Negara-negara berkembang seolah-olah terombang-ambing oleh pasang surutnya, naik turunnya dan jaya hancurnya konsep-konsep mengenai pendidikan dinegara-negara maju.
Ketiga, liberal, rasional, individual, achievemant oriented dan siasial alienated. Ciri-ciri pendidikan demikian, umumnya berbeda dan bahkan berlawanan dengan ciri-ciri masyarakat dan nilai-nilai yang berkembang dinegara-negara berkembang. Pendidikannya liberal, padahal masyarakatnya menjunjung tinggi nilai-nilai kolektivisme, pendidikannya menanamkan rasionalitas, padahal masyarakat negara-negara berkembang banyak juga mempunyai budaya-budaya yang tidak saja mengembangkan rasionalitas melainkan segi-segi emosional dan batiniah, pendidikannya individual padahal masyarakatnya menjunjung tinggi kesetiakawanan sosial dan gotong royong, pendidikannya achievement oriented secara sempit sekadar prestasi akademik di kelas.
Keempat, tidak berakar pada tradisi dan budaya setempat. Hal demikian sangat memprihatinkan, oleh karena pendidikan pada dasarnya adalah pewarisan budaya dari generasi sebelumnya kepada generasi sesudahnya atau penerusnya. Oleh karena tidak berakar pada tradisi dan budaya setempat, maka para siswanya bisa mengalami keterasingan budaya.
Kelima, berorientasi pada masyarakat kota. Ini juga sangat memprihatinkan mengingat sebagian besar wilayah negara-negara berkembang justru terdiri dari pedesaan. Orientasi ke kota demikian, lambat atau cepat, langsung maupun tidak langsung, bisa menjadikan penyebab lulusan-lulusan pendidikan lebih tertarik dengan kehidupan kota ketimbang bangga membangun desanya. Tingginya angka perpindahan penduduk ke kota-kota besar, yang langsung menimbulkan efek-efek samping sosial, agaknya juga dapat dilihat dari sudut pandang ini.
D. Masalah Umum Pendidikan di Negara Berkembang
Menurut Kadir dan Umar (1982) Beberapa masalah dan kesulitan dalam uraian pokok secara garis besar adalah sebagai berikut:
1. Kurangnya guru yang kualifaid. Beberapa Negara terbelakang sangat sedikit orang-orang yang memiliki pendidikan cukise social up menjadi guru yang kompeten, karena mereka menempati jabatan-jabatan diluar bidang pengajaran dengan gaji dan prestise social yang tinggi. Sejak negara-negara terbelakang melakukan ekspansi pendidikan, maka harus berusaha mendapatkan guru-guru dari Negara maju. Walaupun hal itu bertentangan dengan watak nasionalistis,namun tampaknya itu merupakan satu-satunya jalan keluar.
2. Kegagalan sekolah dalam memelihara siswa sebenarnya sekolah-sekolah dasar kurang efektif dalam menunjang gerak pembangunan, jika impaknya tidak tebukti dalam periode waktu yang pantas. Cita-cita sekolah pada mulanya sukar meresap dan beberapa factor kerja menghalanginya. Anak mungkin merupakan suat keuntungan ekonomi bagi orang tua, dan sekolah. Rupa-rupanya dianggap sebagai suatu ancaman terhadap kenyataan keuntungan ini:natau orang tua kuatis, bahwa ilmu pengetahuan dan ide-ide baru itu bias mengasingkan anak dari kebiasaan-kebiasaan tradisional keluarga. Agar efektif sekolah-sekolah itu dihadiri secara teratur dan bersemangat, sekolah itu harus menjadi tempat yang menyenangkan dan menguntungkan hal ini merupakan suatu kondisi yang tidak biasa ditemui dinegara miskin.
3. Keadaan kurikulum yang tidak sesuai permasalahn dasar kurikulum pada jenjang pra-universitas meliputi sekitar perluasan penyesuaian budaya, pendaherahan(loklisasi), dan penjuruhan (vokasionalisasi) kurikulum.
4. Ketimpangan kemajuan desa dan kota. Didunia terbelakang terapat jurang perbedaan yang lebar, yaitu kesenangan, kekayaan, kegembiraan, dan tebaran kelayakan terdapat di beberapa puasat kota dan didesa atau tribal areas keterbelakangan meluas. Perbedaan yang kontras antara gedung-gedung modern, jalan-jalan raya, transportasi dan aktivitas budaya disebagian kota besar dan desa itu mengundang gaya tarik wisatawan yang mengunjungi Negara yang kurang maju itu.
Menurut Tilaar (2002) Di bawah ini akan diuraikan beberapa penyebab rendahnya kualitas pendidikan di dunia berkembang secara umum, yaitu:
1. Efektifitas Pendidikan
Pendidikan yang efektif adalah suatu pendidikan yang memungkinkan peserta didik untuk dapat belajar dengan mudah, menyenangkan dan dapat tercapai tujuan sesuai dengan yang diharapkan. Dengan demikian, pendidik (dosen, guru, instruktur, dan trainer) dituntut untuk dapat meningkatkan keefektifan pembelajaran agar pembelajaran tersebut dapat berguna.
Selama ini, banyak pendapat beranggapan bahwa pendidikan formal dinilai hanya menjadi formalitas saja untuk membentuk sumber daya manusia Indonesia. Tidak perduli bagaimana hasil pembelajaran formal tersebut, yang terpenting adalah telah melaksanakan pendidikan di jenjang yang tinggi dan dapat dianggap hebat oleh masyarakat. Anggapan seperti itu jugalah yang menyebabkan efektifitas pengajaran di Indonesia sangat rendah. Setiap orang mempunyai kelebihan dibidangnya masing-masing dan diharapkan dapat mengambil pendidikaan sesuai bakat dan minatnya bukan hanya untuk dianggap hebat oleh orang lain.
Dalam pendidikan di sekolah menegah misalnya, seseorang yang mempunyai kelebihan dibidang sosial dan dipaksa mengikuti program studi IPA akan menghasilkan efektifitas pengajaran yang lebih rendah jika dibandingkan peserta didik yang mengikuti program studi yang sesuai dengan bakat dan minatnya. Hal-hal sepeti itulah yang banyak terjadi di Indonesia. Dan sayangnya masalah gengsi tidak kalah pentingnya dalam menyebabkan rendahnya efektifitas pendidikan di Negara berkembang.
2. Efisiensi Pengajaran Di Negara Berkembang
Efisien adalah bagaimana menghasilkan efektifitas dari suatu tujuan dengan proses yang lebih ‘murah’. Dalam proses pendidikan akan jauh lebih baik jika kita memperhitungkan untuk memperoleh hasil yang baik tanpa melupakan proses yang baik pula. Hal-hal itu jugalah yang kurang jika kita lihat pendidikan di Indonesia. Kita kurang mempertimbangkan prosesnya, hanya bagaimana dapat meraih standar hasil yang telah disepakati.
Beberapa masalah efisiensi pengajaran adalah mahalnya biaya pendidikan, waktu yang digunakan dalam proses pendidikan, mutu pegajar dan banyak hal lain yang menyebabkan kurang efisiennya proses pendidikan. Yang juga berpengaruh dalam peningkatan sumber daya manusia yang lebih baik.
Jika kita berbicara tentang biaya pendidikan, kita tidak hanya berbicara tenang biaya sekolah, training, kursus atau lembaga pendidikan formal atau informal lain yang dipilih, namun kita juga berbicara tentang properti pendukung seperti buku, dan berbicara tentang biaya transportasi yang ditempuh untuk dapat sampai ke lembaga pengajaran yang kita pilih.
Konsep efisiensi akan tercipta jika keluaran yang diinginkan dapat dihasilkan secara optimal dengan hanya masukan yang relative tetap, atau jika masukan yang sekecil mungkin dapat menghasilkan keluaran yang optimal. Konsep efisiensi sendiri terdiri dari efisiensi teknologis dan efisiensi ekonomis. Efisiensi teknologis diterapkan dalam pencapaian kuantitas keluaran secara fisik sesuai dengan ukuran hasil yang sudah ditetapkan. Sementara efisiensi ekonomis tercipta jika ukuran nilai kepuasan atau harga sudah diterapkan terhadap keluaran.
3. Standardisasi Pendidikan
Jika kita ingin meningkatkan mutu pendidikan, kita juga berbicara tentang standardisasi pengajaran yang kita ambil. Tentunya setelah melewati proses untuk menentukan standar yang akan diambil. Seperti yang kita lihat sekarang ini, standar dan kompetensi dalam pendidikan formal maupun informal terlihat hanya keranjingan terhadap standar dan kompetensi. Kualitas pendidikan diukur oleh standard an kompetensi di dalam berbagai versi, demikian pula sehingga dibentuk badan-badan baru untuk melaksanakan standardisasi dan kompetensi tersebut seperti Badan Standardisasi Nasional Pendidikan (BSNP).
Penyebab rendahnya mutu pendidikan juga tentu tidah hanya sebatas yang kami bahas di atas. Banyak hal yang menyebabkan rendahnya mutu pendidikan kita. Tentunya hal seperti itu dapat kita temukan jika kita menggali lebih dalam akar permasalahannya. Dan semoga jika kita mengetehui akar permasalahannya, kita dapat memperbaiki mutu pendidikan sehingga jadi kebih baik lagi.
4. Rendahnya Kualitas Sarana Fisik
Untuk sarana fisik misalnya, banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi kita yang gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaan tidak lengkap. Sementara laboratorium tidak standar, pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak memiliki perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan sebagainya.
5. Rendahnya Kualitas Guru
Keadaan guru di Indonesia juga amat memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan pengabdian masyarakat. Bukan itu saja, sebagian guru di Indonesia bahkan dinyatakan tidak layak mengajar. Walaupun guru dan pengajar bukan satu-satunya faktor penentu keberhasilan pendidikan tetapi, pengajaran merupakan titik sentral pendidikan dan kualifikasi, sebagai cermin kualitas, tenaga pengajar memberikan andil sangat besar pada kualitas pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya. Kualitas guru dan pengajar yang rendah juga dipengaruhi oleh masih rendahnya tingkat kesejahteraan guru.
5. Rendahnya Kesejahteraan Guru
Rendahnya kesejahteraan guru mempunyai peran dalam membuat rendahnya kualitas pendidikan Indonesia.
6. Rendahnya Prestasi Siswa
Dengan keadaan yang demikian itu (rendahnya sarana fisik, kualitas guru, dan kesejahteraan guru) pencapaian prestasi siswa pun menjadi tidak memuaskan. Sebagai misal pencapaian prestasi fisika dan matematika siswa Indonesia di dunia internasional sangat rendah.
7. Kurangnya Pemerataan Kesempatan Pendidikan
Kesempatan memperoleh pendidikan masih terbatas pada tingkat Sekolah Dasar. Sementara itu layanan pendidikan usia dini masih sangat terbatas. Kegagalan pembinaan dalam usia dini nantinya tentu akan menghambat pengembangan sumber daya manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu diperlukan kebijakan dan strategi pemerataan pendidikan yang tepat untuk mengatasi masalah ketidakmerataan tersebut.
8. Rendahnya Relevansi Pendidikan Dengan Kebutuhan
Adanya ketidakserasian antara hasil pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini disebabkan kurikulum yang materinya kurang funsional terhadap keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta didik memasuki dunia kerja.
9. Mahalnya Biaya Pendidikan
Pendidikan bermutu itu mahal. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah.
Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). MBS di Indonesia pada realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha.
Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan uang selalu berkedok, “sesuai keputusan Komite Sekolah”. Namun, pada tingkat implementasinya, ia tidak transparan, karena yang dipilih menjadi pengurus dan anggota Komite Sekolah adalah orang-orang dekat dengan Kepala Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah hanya menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah, dan MBS pun hanya menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara terhadap permasalahan pendidikan rakyatnya.
DAFTAR PUSTAKA
Gunawan, Ary H. 1986. Kebijakan-Kebijakan Pendidikan di Indonesia. Jakarta: Bina Aksara.
Imron, Ali. 2008. Kebijakan Pendidikan di Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.
Kadir, Sardjan. & Ma’sum, Umar. 1982. Pendidikan di Negara sedang Berkembang. Surabaya: Usaha Nasional.
Nur, Anan. Kebijakan Negara Berkembang. Anan-nur.blogspot.com diakses online tanggal 6 Februari 2011
Tilaar, H. A. R. 2002. Membenahi Pendidikan Nasional. Jakarta: Rineka Cipta.