Powered By Blogger

Jumat, 22 April 2011

kebijakan pendidikan di negara berkembang

PEMBAHASAN


A.      Pengertian Kebijakan Pendidikan
Secara etimologis kata kebijakan disepadankan dengan kata bahasa Inggris policy yang dibedakan dari kata wisdom yang berarti kebijaksanaan atau kearifan. Kata policy dapat pula dijumpai dalam bahasa-bahasa lain seperti latin, yunani dan sankrit. Polita dalam bahasa latin berarti Negara. Polis dalam bahasa yunani berarti negara kota. Pur dalam bahasa sanskrit berarti kota. Policie dalam bahasa inggris berarti: mengurus masalah atau kepentingan umum atau juga administrasi Negara.
Menurut Supandi, dari beberapa kata yang tersebut menghasilkan tiga jenis pengertian yang sekarang kita kenal, yaitu politic, policy dan polici. Politic berarti seni dan ilmu pemerintahan, policy berarti hal-hal mengenai kebijakan pemerintah, sedangkan polici berarti hal-hal yang berkenaan dengan pemerintahan.Sedangkan secara terminologis istilah kebijakan memiliki arti yang sangat beragam diantaranya: Menurut Ealau dan Prewitt, kebijakan adalah sebuah ketetapan yang berlaku yang dicirikan oleh perilaku yang konsisten dan berulang, baik dari yang membuatnya maupun yang mentaatinya (yang terkena kebijakan itu). Kamus Webster memberi pengertian kebijakan sebagai prinsip atau cara bertindak yang dipilih untuk mengarahkan pengambilan keputusan. Titmuss mendefinisikan kebijakan sebagai prinsip-prinsip yang mengatur tindakan yang diarahkan kepada tujuan-tujuan tertentu. Kebijakan, menurut Titmuss, senantiasa berorientasi kepada masalah (problem-oriented) dan berorientasi kepada tindakan (action-oriented).
3
Menurut Dr. Dodik Ridho Nurrochmat (dalam Gunawan,1986) kebijakan adalah Prinsip atau cara bertindak
yang dipilih untuk mengarahkan pengambilan keputusan. Dalam uraian lengkapnya
Dodik menekankan bahwa ada hubungan segi tiga antara kebijakan, kebijaksanaan dan kebajikan. Artinya bahwa kebijakan yang bijaksana akan berakibat pada kebajikan. Satu sudut yang satu dengan yang lain tidak boleh ada yang timpang. Bila dikaitkan dengan kebijakan yang kita amati dalam keseharian. Terdapat beberapa kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah, namun hanya berlaku untuk satu golongan, sementara golongan tertentu, karena ada unsur KKN kebijakan itu tidak berlaku. Bisa ditebak akan terjadi ketimpangan dalam pelaksanaannya. Tri Widodo Wahyu Utomo, SH dalam Pengantar Kebijaan Publik memberikan gambaran kebijakan yang dikemukaan oleh PBB, menurut Widodo PBB memberikan definisi kebijakan dengan pedoman untuk bertindak. Pedoman itu dapat sederhana atau komplek, umum atau khusus. Luas atau sempit, kabur atau jelas, longgar atau
terperinci, publik atau privat kuaitatif atau kuantitatif.
Ali Imron dalam bukunya Kebijakan Pendidikan di Indonesia mengemukakan pengertian kebijakan dari beberapa ahli, diantaranya:
1.      Laswell (1970) , kebijakan sebagai suatu program pencapaian tujuan, nilai-nilai dan praktik yang terarah (a projected program of goals value and practies).
2.      Anderson (1979), Kebijakan sebagai serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang mesti diikuti dan diakukan para pelakunya untuk memecahkan suatu masalah. (a purposive corse of problem or matter of concern).
3.      Helco (1977), memberiakan batasan kebijakan sebagai cara bertindak yang
sengaja dilaksanakan untuk menyelesaikan masalah-masalah.
4.      Amara Raksasa Taya (1976) memberikan batasan kebijakan sebagai suatu taktik atau strategi yang diarahkan untuk mencapai tujuan.
5.      Friedrik (1963) memberikan batasan kebijaksanaan sebagai serangkaian tindakan yang diajukan oleh seseorang, grup dan pemerintahan dalam lingkungan tertentu dengan mencantumkan kendala-kendala yang dihadapi serta kesempatan yang memungkinkan pelaksanaan usulan tersebut dalam upaya mencapai tujuan. (a proposes course of action of a person, group, or govermen with is given environment providing abtacles and aportunities with the policy was proposed to utilize on objective or purpose).
Dari banyak pengertian tentang kebijakan di atas banyak pemaparan yang sama
yaitu gambaran bahwa kebijakan adalah su
atu proses yang sangat panjang dan kepentingan yang beragam. Di dalamnya terdapat ketetapan-ketetapan yang memuat prinsip-prinsip untuk mengarahkan cara-cara bertindak yang dibuat secara terencana dan konsisten dalam mencapai tujuan tertentu.
Ali Imron dalam bukunya Analisis Kebijakan Pendidikan menjelaskan bahwa kebijakan pendidikan adalah salah satu kebijakan Negara. Carter V Good (1959) memberikan pengertian kebijakan pendidikan (educational policy) sebagai suatu pertimbangan yang didasarkan atas system nilai dan beberapa penilaian atas faktor-faktor yang bersifat situasional, pertimbangan tersebut dijadikan sebagai dasar untuk mengopersikan pendidikan yang bersifat melembaga. Pertimbangan tersebut merupakan perencanaan yang dijadikan sebagai pedoman untuk mengambil keputusan, agar tujuan yang bersifat melembaga bisa tercapai.
Kebijakan pendidikan sangat erat hubungannya dengan kebijakan yang ada dalam lingkup kebijakan publik, misalnya kebijakan ekonomi, politik, luar negeri, keagamaan dan lain-lain. Konsekuensinya kebijakan pendidikan di Indonesia tidak bisa berdiri sendiri. Ketika ada perubahan kebijakan publik maka kebijakan pendidikan bisa berubah. Ketika kebijakan politik dalam dan luar negeri, kebijakan pendidikan biasanya akan mengikuti alur kebijakan yang lebih luas. Bahkan pergantian menteri dapat pula mengganti kebijakan yang telah mapan pada jamannya. Bukan hal yang aneh,ganti menteri berganti kebijakan. Masih ingat di benak kita ada pelajaran PSPB yang secara prinsipil tidak jauh berbeda dengan IPS sejarah dan lucunya materi itu pun di pelajari di PMP (sekarang PKN/PPKN).

B. Pengertian Negara Berkembang
Negara berkembang adalah sebuah negara dengan rata-rata pendapatan yang rendah, infrastruktur yang relatif terbelakang, dan indeks perkembangan manusia yang kurang dibandingkan dengan norma global. Istilah ini mulai menyingkirkan Dunia Ketiga, sebuah istilah yang digunakan pada masa Perang Dingin.
Perkembangan mencakup perkembangan sebuah infrastruktur modern (baik secara fisik maupun institusional) dan sebuah pergerakan dari sektor bernilai tambah rendah seperti agrikultur dan pengambilan sumber daya alam. Negara maju biasanya memiliki sistem ekonomi berdasarkan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan menahan-sendiri. Penerapan istilah 'negara berkembang' ke seluruh negara yang kurang berkembang dianggap tidak tepat bila kasus negara tersebut adalah sebuah negara miskin, yaitu Negara yang tidak mengalami pertumbuhan situasi ekonominya, dan juga telah mengalami periode penurunan ekonomi yang berkelanjutan (Anan, 2010)

C.  Kebijaksanaan Pendidikan di Negara-Negara Berkembang
            Kebijaksanaan pendidikan di negara-negara berkembang umumnya berasal dari warisan Kebijaksanaan pendidikan kaum kolonial. Dikatakan demikian, oleh karena negara-negara berkembang pada saat baru pertama kali merdeka belum sempat membangun kebijaksanaan pendidikannya sendiri berdasarkan kebutuhan realistik rakyatnya. Kemerdekaan yang telah dicapai di bidang politik tidak dengan sendirinya diikuti oleh kemerdekaan di bidang lainnya, lebih-lebih dibidang pendidikan.
            Achmad Icksan (1985) mengidentifikasi ciri-ciri kebijaksanaan pendidikan yang merupakan warisan kaum kolonial. Pertama, sifatnya yang elastis, atau lebih banyak memberikan kesempatan kepada sekecil masyarakat dan tidak lebih banyak memberikan kesempatan kepada sebagian besar masyarakat. Realitas demikian tampak mula-mula pada awal-awal kemerdekaan terutama dalam hal kesempatan mendapatkan layanan pendidikan, meskipun pengejawantahannya akhirnya lebih bersentuhan dengan persoalan mutu pendidikan. Tampak sekali, bahwa layanan pendidikan yang bermutu, tetap dinikmati oleh kalangan terbatas, sementara kalangan kebanyakan sekedar mendapatkan layanan pendidikan yang dari segi kualitas sangat memprihatinkan. Keluhan mengenai mutu pendidikan yang akhir-akhir ini pernah mencuat ke permukaan, agaknya dapat dilihat dari sudut pandang ini.
            Kedua, berorientasi sosio-ekonomik. Orientasi sosio-ekonomik demikian, berkaitan erat dengan jaringan ekonomi internasional di mana negara-negara maju berposisi sebagai sentranya sementara negara-negara berkembang sekedar sebagai periferalnya. Dalam kedudukan sebagai periferalnya, negara berkembang umumnya secara ekonomik masih tinggi tingkat dependensinya terhadap negara maju. Bantuan-bantuan yang diberikan dalam bentuk pinjaman bagi pelaksaan pendidikan di negara-negara berkembang, umumnya justru memperkukuh dependensi tersebut. Jika secara ekonomik hal demikian masih bergantung dan belum mandiri, maka dalam hal strategi pencapaian tujuan pendidikannya pun juga masih tetap bergantung. Tidak jarang, pembaruan-pembaruan dibidang pendidikan, umumnya dimulai dari negara maju, dan begitu dinegara maju sudah ditinggalkan, baru mulai dan digalakkan dinegara-negara berkembang. Negara-negara berkembang seolah-olah terombang-ambing oleh pasang surutnya, naik turunnya dan jaya hancurnya konsep-konsep mengenai pendidikan dinegara-negara maju.
            Ketiga, liberal, rasional, individual, achievemant oriented dan siasial alienated. Ciri-ciri pendidikan demikian, umumnya berbeda dan bahkan berlawanan dengan ciri-ciri masyarakat dan nilai-nilai yang berkembang dinegara-negara berkembang. Pendidikannya liberal, padahal masyarakatnya menjunjung tinggi nilai-nilai kolektivisme, pendidikannya menanamkan rasionalitas, padahal masyarakat negara-negara berkembang banyak juga mempunyai budaya-budaya yang tidak saja mengembangkan rasionalitas melainkan segi-segi emosional dan batiniah, pendidikannya individual padahal masyarakatnya menjunjung tinggi kesetiakawanan sosial dan gotong royong, pendidikannya achievement oriented secara sempit sekadar prestasi akademik di kelas.
Keempat, tidak berakar pada tradisi dan budaya setempat. Hal demikian sangat memprihatinkan, oleh karena pendidikan pada dasarnya adalah pewarisan budaya dari generasi sebelumnya kepada generasi sesudahnya atau penerusnya. Oleh karena tidak berakar pada tradisi dan budaya setempat, maka para siswanya bisa mengalami keterasingan budaya.
            Kelima, berorientasi pada masyarakat kota. Ini juga sangat memprihatinkan mengingat sebagian besar wilayah negara-negara berkembang justru terdiri dari pedesaan. Orientasi ke kota demikian, lambat atau cepat, langsung maupun tidak langsung, bisa menjadikan penyebab lulusan-lulusan pendidikan lebih tertarik dengan kehidupan kota ketimbang bangga membangun desanya. Tingginya angka perpindahan penduduk ke kota-kota besar, yang langsung menimbulkan efek-efek samping sosial, agaknya juga dapat dilihat dari sudut pandang ini.

D. Masalah Umum Pendidikan  di Negara Berkembang
Menurut Kadir dan Umar (1982) Beberapa masalah dan kesulitan dalam uraian pokok secara garis besar adalah sebagai berikut:
1.    Kurangnya guru yang kualifaid. Beberapa Negara terbelakang sangat sedikit orang-orang yang memiliki pendidikan cukise social up menjadi guru yang kompeten, karena mereka menempati jabatan-jabatan diluar bidang pengajaran dengan gaji dan prestise social yang tinggi. Sejak negara-negara terbelakang melakukan ekspansi pendidikan, maka harus berusaha mendapatkan guru-guru dari Negara maju. Walaupun hal itu bertentangan dengan watak nasionalistis,namun tampaknya itu merupakan satu-satunya jalan keluar.
2.    Kegagalan sekolah dalam memelihara siswa sebenarnya sekolah-sekolah dasar kurang efektif dalam menunjang gerak pembangunan, jika impaknya tidak tebukti dalam periode waktu yang pantas. Cita-cita sekolah pada mulanya sukar meresap dan beberapa factor kerja menghalanginya. Anak mungkin merupakan suat keuntungan ekonomi bagi orang tua, dan sekolah. Rupa-rupanya dianggap sebagai suatu ancaman terhadap kenyataan keuntungan ini:natau orang tua kuatis, bahwa ilmu pengetahuan dan ide-ide baru itu bias mengasingkan anak dari kebiasaan-kebiasaan tradisional keluarga. Agar efektif sekolah-sekolah itu dihadiri secara teratur dan bersemangat, sekolah itu harus menjadi tempat yang menyenangkan dan menguntungkan hal ini merupakan suatu kondisi yang tidak biasa ditemui dinegara miskin.
3.    Keadaan kurikulum yang tidak sesuai permasalahn dasar kurikulum pada jenjang pra-universitas meliputi sekitar perluasan penyesuaian budaya, pendaherahan(loklisasi), dan penjuruhan (vokasionalisasi) kurikulum.
4.    Ketimpangan kemajuan desa dan kota. Didunia terbelakang terapat jurang perbedaan yang lebar, yaitu kesenangan, kekayaan, kegembiraan, dan tebaran kelayakan terdapat di beberapa puasat kota dan didesa atau tribal areas keterbelakangan meluas. Perbedaan yang kontras antara gedung-gedung modern, jalan-jalan raya, transportasi dan aktivitas budaya disebagian kota besar dan desa itu mengundang gaya tarik wisatawan yang mengunjungi Negara yang kurang maju itu.
Menurut Tilaar (2002) Di bawah ini akan diuraikan beberapa penyebab rendahnya kualitas pendidikan di dunia berkembang secara umum, yaitu:
1. Efektifitas Pendidikan
Pendidikan yang efektif adalah suatu pendidikan yang memungkinkan peserta didik untuk dapat belajar dengan mudah, menyenangkan dan dapat tercapai tujuan sesuai dengan yang diharapkan. Dengan demikian, pendidik (dosen, guru, instruktur, dan trainer) dituntut untuk dapat meningkatkan keefektifan pembelajaran agar pembelajaran tersebut dapat berguna.
Selama ini, banyak pendapat beranggapan bahwa pendidikan formal dinilai hanya menjadi formalitas saja untuk membentuk sumber daya manusia Indonesia. Tidak perduli bagaimana hasil pembelajaran formal tersebut, yang terpenting adalah telah melaksanakan pendidikan di jenjang yang tinggi dan dapat dianggap hebat oleh masyarakat. Anggapan seperti itu jugalah yang menyebabkan efektifitas pengajaran di Indonesia sangat rendah. Setiap orang mempunyai kelebihan dibidangnya masing-masing dan diharapkan dapat mengambil pendidikaan sesuai bakat dan minatnya bukan hanya untuk dianggap hebat oleh orang lain.
Dalam pendidikan di sekolah menegah misalnya, seseorang yang mempunyai kelebihan dibidang sosial dan dipaksa mengikuti program studi IPA akan menghasilkan efektifitas pengajaran yang lebih rendah jika dibandingkan peserta didik yang mengikuti program studi yang sesuai dengan bakat dan minatnya. Hal-hal sepeti itulah yang banyak terjadi di Indonesia. Dan sayangnya masalah gengsi tidak kalah pentingnya dalam menyebabkan rendahnya efektifitas pendidikan di Negara berkembang.

2. Efisiensi Pengajaran Di Negara Berkembang
Efisien adalah bagaimana menghasilkan efektifitas dari suatu tujuan dengan proses yang lebih ‘murah’. Dalam proses pendidikan akan jauh lebih baik jika kita memperhitungkan untuk memperoleh hasil yang baik tanpa melupakan proses yang baik pula. Hal-hal itu jugalah yang kurang jika kita lihat pendidikan di Indonesia. Kita kurang mempertimbangkan prosesnya, hanya bagaimana dapat meraih standar hasil yang telah disepakati.
Beberapa masalah efisiensi pengajaran adalah mahalnya biaya pendidikan, waktu yang digunakan dalam proses pendidikan, mutu pegajar dan banyak hal lain yang menyebabkan kurang efisiennya proses pendidikan. Yang juga berpengaruh dalam peningkatan sumber daya manusia yang lebih baik.
Jika kita berbicara tentang biaya pendidikan, kita tidak hanya berbicara tenang biaya sekolah, training, kursus atau lembaga pendidikan formal atau informal lain yang dipilih, namun kita juga berbicara tentang properti pendukung seperti buku, dan berbicara tentang biaya transportasi yang ditempuh untuk dapat sampai ke lembaga pengajaran yang kita pilih.
Konsep efisiensi akan tercipta jika keluaran yang diinginkan dapat dihasilkan secara optimal dengan hanya masukan yang relative tetap, atau jika masukan yang sekecil mungkin dapat menghasilkan keluaran yang optimal. Konsep efisiensi sendiri terdiri dari efisiensi teknologis dan efisiensi ekonomis. Efisiensi teknologis diterapkan dalam pencapaian kuantitas keluaran secara fisik sesuai dengan ukuran hasil yang sudah ditetapkan. Sementara efisiensi ekonomis tercipta jika ukuran nilai kepuasan atau harga sudah diterapkan terhadap keluaran.

3.  Standardisasi Pendidikan
Jika kita ingin meningkatkan mutu pendidikan, kita juga berbicara tentang standardisasi pengajaran yang kita ambil. Tentunya setelah melewati proses untuk menentukan standar yang akan diambil. Seperti yang kita lihat sekarang ini, standar dan kompetensi dalam pendidikan formal maupun informal terlihat hanya keranjingan terhadap standar dan kompetensi. Kualitas pendidikan diukur oleh standard an kompetensi di dalam berbagai versi, demikian pula sehingga dibentuk badan-badan baru untuk melaksanakan standardisasi dan kompetensi tersebut seperti Badan Standardisasi Nasional Pendidikan (BSNP).
Penyebab rendahnya mutu pendidikan  juga tentu tidah hanya sebatas yang kami bahas di atas. Banyak hal yang menyebabkan rendahnya mutu pendidikan kita. Tentunya hal seperti itu dapat kita temukan jika kita menggali lebih dalam akar permasalahannya. Dan semoga jika kita mengetehui akar permasalahannya, kita dapat memperbaiki mutu pendidikan sehingga jadi kebih baik lagi.

4.  Rendahnya Kualitas Sarana Fisik
Untuk sarana fisik misalnya, banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi kita yang gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaan tidak lengkap. Sementara laboratorium tidak standar, pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak memiliki perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan sebagainya.

5.  Rendahnya Kualitas Guru
Keadaan guru di Indonesia juga amat memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan pengabdian masyarakat. Bukan itu saja, sebagian guru di Indonesia bahkan dinyatakan tidak layak mengajar. Walaupun guru dan pengajar bukan satu-satunya faktor penentu keberhasilan pendidikan tetapi, pengajaran merupakan titik sentral pendidikan dan kualifikasi, sebagai cermin kualitas, tenaga pengajar memberikan andil sangat besar pada kualitas pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya. Kualitas guru dan pengajar yang rendah juga dipengaruhi oleh masih rendahnya tingkat kesejahteraan guru.

5.  Rendahnya Kesejahteraan Guru
            Rendahnya kesejahteraan guru mempunyai peran dalam membuat rendahnya kualitas pendidikan Indonesia.

6.  Rendahnya Prestasi Siswa
Dengan keadaan yang demikian itu (rendahnya sarana fisik, kualitas guru, dan kesejahteraan guru) pencapaian prestasi siswa pun menjadi tidak memuaskan. Sebagai misal pencapaian prestasi fisika dan matematika siswa Indonesia di dunia internasional sangat rendah.

7.  Kurangnya Pemerataan Kesempatan Pendidikan
Kesempatan memperoleh pendidikan masih terbatas pada tingkat Sekolah Dasar. Sementara itu layanan pendidikan usia dini masih sangat terbatas. Kegagalan pembinaan dalam usia dini nantinya tentu akan menghambat pengembangan sumber daya manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu diperlukan kebijakan dan strategi pemerataan pendidikan yang tepat untuk mengatasi masalah ketidakmerataan tersebut.

8.  Rendahnya Relevansi Pendidikan Dengan Kebutuhan
            Adanya ketidakserasian antara hasil pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini disebabkan kurikulum yang materinya kurang funsional terhadap keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta didik memasuki dunia kerja.

9.  Mahalnya Biaya Pendidikan
Pendidikan bermutu itu mahal. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah.
Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). MBS di Indonesia pada realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha.
Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan uang selalu berkedok, “sesuai keputusan Komite Sekolah”. Namun, pada tingkat implementasinya, ia tidak transparan, karena yang dipilih menjadi pengurus dan anggota Komite Sekolah adalah orang-orang dekat dengan Kepala Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah hanya menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah, dan MBS pun hanya menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara terhadap permasalahan pendidikan rakyatnya.
DAFTAR PUSTAKA



Gunawan, Ary H. 1986. Kebijakan-Kebijakan Pendidikan di Indonesia. Jakarta: Bina Aksara.

Imron, Ali. 2008. Kebijakan Pendidikan di Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.

Kadir, Sardjan. & Ma’sum, Umar. 1982. Pendidikan di Negara sedang Berkembang. Surabaya: Usaha Nasional.

Nur, Anan. Kebijakan Negara Berkembang. Anan-nur.blogspot.com diakses online tanggal 6 Februari 2011

Tilaar, H. A. R. 2002. Membenahi Pendidikan Nasional. Jakarta: Rineka Cipta.

 

Portofolio

PEMBAHASAN

A.      Pengertian Portofolio
Penilaian portofolio (portofolio assessment) merupakan salah satu bentuk “Performance assessment”. Portofolia adalah kumpulan hasil tugas atau tes atau hasil karya siswa yang dikatkan dengan standar atau kinerja ynag telah ditentukan. Dengan kata lain, portofolio adalah merupakan kumpulan hasil karya siswa yang sistematis dalam suatu periode. Mardapi (2000) mengemukakan bahwa portofolio adalah pengumpulan pekerjaan individu secara sistematis.
Penilaian portofolio merupakan strategi untuk mengetahui kemampuan siswa yang sebenarnya, serta untuk mengetahui perkembangan siwa dalam bidang tertentu. Hasil kerja siswa diperbaharui secara berkelanjutan yang mencerminkan perkembangan kemampuan siswa. Guru menggunakan portofolio sebagai bagian integral dari proses pembelajaran. Nilai diagnostik portofolio akan sangat bermanfaat untuk meningkatkan proses pembelajaran. Melalui portofolio akan bisa diperoleh informasi tentang proses dan hasil belajar siswa.
Portofolio dapat digunakan untuk menilai kemempuan belajar siswa dalam berbagai bidang studi, termasuk dalam bidang bahasa, matematika, atau ilmu pengetahuan alam. Portofolio juga dapat digunakan untuk menilai perkembangan siswa dalam bidang ilmu-ilmu social, misalnya menganalisis masalah-masalah social dan sejenisnya. Prinsip dalam portofolio adalah dokomen atau data hasil pekerjaan siswa, baik berupa pekerjaan rumah, tugas atau tes tertulis seluruhnya digunakan untuk membuat inferensi kemampuan dan perkembangan siswa (Bambang dan Sunarni, 2009: 35) . Informasi ini juga digunakan untuk menyusun strategi dalam meningkatkan kualitas proses pembelajaran.







B. Perbedaan Tes dan Portofolio
Beberapa perbedaan pokok antara tes sebagai suatu teknik atau alat penilaian yang selama ini digunakan guru dengan penilaian portofolio sebagai salah satu inovasi dalam pelaksanaan penilaian, diantaranya yaitu:

NO
TES
NO
PENILAIAN PORTOFOLIO
1
Tes biasanya dilakukan untuk menilai kemampuan intelektual siswa melalui penguasaan materi pembelajaran
1.
Penilaian portofolio menilai seluruh aspek perkembangan siswa baik intelektual, minat sikap, dan keterampilan.
2.
Guru berperan sangat dominan dalam proses penilaian sedangkan siswa berperan sebagai orang yang dinilai.
2.
Peserta didik terlibat dalam proses penilaian dengan menilai dirinya sendiri mengenai kemampuan beserta dalam perkembangannya.
3.
Kriteria penilaian ditentukan satu untuk semua.
3.
Kriteria penilaian ditentukan sesuai dengan kriteria siswa.
4.
Keputusan berdasarkan penilaian ditentukan sendiri oleh guru.
4.
Proses penilaian beserta pengambilan keputusan dilakukan dengan cara kolaboratif antara guru, siswa, dan orang tua.
5.
Penilaian dilakukan dengan berorientasi pada pencapaian hasil belajar.
5.
Penilaian berorientasi pada kemajuan, usaha yang dilakukan siswa termasuk pencapaian hasil belajar.
6.
Penilaian merupakan kegiatan yang terpisah dari proses pembelajaran.
6.
Penilaian merupakan bagian integral dari proses pembelajaran.
7.
Penilaian melalui tes biasanya dilakukan pada akhir program pembelajaran.
7.
Penilaian portofolio dilakukan selama proses pembelajaran berlangsung.

C.      Fungsi Penilaian Portofolio
1.      Portofolio sebagai sumber informasi bagi guru dan orang tua untuk mengetahui pertumbuhan dan  perkembangan kemampuan peserta didik, tanggung jawab dalam belajar, perluasan dimensi belajar,dan pembaharuan  proses pembelajaran.
2.      Portofolio sebagai alat mengajaran merupakan komponen kurikulum, karena poetofolio mengharuskan peserta didik untuk mengoreksi dan menunjukkan hasil kerja mereka.
3.      Portofolio sebagai alat menilai otentik ( authentic assessment)
4.      Portofolio sebagai sumber informasi bagi peserta didik untuk melakukan self-asessment .

D.      Prinsip-prinsip Penilaian Portofolio
Dalam proses pelaksanaan evaluasi dengan sistem penilaian portofolio terdapat beberapa prinsip yang harus diperhatikan, diantaranya yaitu :
1.      Saling Percaya
Penilaian portofolio adalah penilaian yang melibatkan siswa secara aktif sebagai pihak yang dievaluasi. Antara guru sebagai evaluator dan siswa sebagai pihak yang dievaluasi harus saling percaya bahwa bukan semata-mata untuk menilai hasil pekerjaannya akan tetapi sebagai upaya pemberian umpan balik untuk meningkatkan hasil belajar.

2.      Keterbukaan
Portofolio adalah penilaian yang dilaksanakan secara terbuka, artinya guru sebagai evaluator bukan hanya berperan sebagai orang yang memberi nilai atau kritik, akan tetapi siswa yang dievaluasi perlu memahami mengapa kritik itu muncul, oleh sebab itu guru harus terbuka melalui argumentasi yang tepat dalam setiap memberikan penilaian.

3.      Kerahasiaan
Sebelum dilaksanakan pameran, kerahasiaan dokumen (evidence) setiap siswa perlu dijaga. Hal ini untuk menjaga perasaan siswa, jangan sampai ada kesan siswa merasa direndahkan dan dipermalukan didepan teman-temannya, apalagi kalau komentar itu menyangkut kemampuan dan pribadi siswa yang bersangkutan. Demikian juga komentar untuk siswa yang dianggap baik, tidak perlu diinformasikan pada yang lain. Hal ini untuk menjaga agar siswa yang bersangkutan tidak merasa paling hebat diantara teman-teman lainnya.

4.      Milik Bersama
Guru dan peserta didik harus merasa bahwa evidence portofolio adalah milik bersama, oleh karena itu semua pihak harus menjaganya secara baik. Hal ini akan mempermudah manakala siswa atau guru memerlukannya.

5.      Kepuasan dan Kesesuaian
Hasil akhir dari penilaian portofolio adalah ketercapaian kompetensi seperti yang dirumuskan dalam kurikulum. Guru dan siswa akan merasa puas manakala kompetensi itu telah tercapai. Oleh karena itu, terkumpulnya evidence merupakan kepuasan baik bagi guru maupun bagi siswa.

6.      Budaya Pembelajaran
Penilaian portofolio harus dapat mengembangkan budaya belajar. Sebab penilaian portofolio itu sendiri pada dasarnya mengandung proses pembelajaran. Unjuk kerja yang tergambar pada setiap evidence pada dasarnya adalah proses pembelajaran.

7.      Refleksi
Penilaian portofolio harus memberikan kesempatan yang luas kepada siswa untuk melakukan refleksi tentang proses pembelajaran yang telah dilakukannya. Melalui refleksi, siswa dapat menghayati tentang proses berpikir mereka sendiri, kemampuan yang telah mereka peroleh, serta pemahaman mereka tentang kompetensi yang telah dimilikinya.



8.      Berorientasi pada Proses dan Hasil
Penilaian portofolio bertumpu pada dua sisi yang sama pentingnya, yakni sisi proses dan hasil belajar secara seimbang. Penilaian portofolio mengikuti setiap aspek perkembangan siswa, bagaimana cara belajar siswa, bagaimana motivasi belajar, sikap, minat, kebiasaan, dan lain sebagainya dan pada akhirnya menilai bagaimana hasil belajar yang diperoleh siswa.

E. Keunggulan dan Kelemahan Penilaian Portofolio
1. Penilaian Portofolio
Penilaian portofolio memiliki perbedaan yang sangat mendasar dibandingkan dengan sistem penilaian yang biasa dilakukan misalnya dengan tes. Tes biasa digunakan untuk menilai kemampuan penguasaan materi pembelajaran atau perkembangan intelektual siswa, oleh sebab itu tes biasanya dilaksanakan pada akhir selesainya pelaksanaan program pembelajaran misalnya pada akhir caturwulan atau semester. Penilaian portofolio dilakukan untuk menilai setiap aspek perkembangan siswa termasuk perkembangan minat, sikap, dan motivasi. Oleh sebab itu, penilaian portofolio merupakan bagian integral dari proses pembelajaran yang dilakukan secara terus-menerus dan menyeluruh.
Sebagai suatu teknik penilaian, portofolio memiliki keunggulan diantaranya: a. Penilaian portofolio dapat menilai kemampuan siswa secara menyeluruh.
b.      Penilaian portofolio dapat menjamin akuntabilitas (pertanggung-jawaban).
c.       Penilaian portofolio merupakan penilaian yang bersifat individual.
d.      Penilaian portofolio merupakan penilaian yang terbuka.
e.       Penilaian portofolio bersifat self evaluation.

Dalam Bambang dan Tumardi, (2003: 31-32) Bila dibandingkan dengan tes, ada perbedaan dan kelebihan portfolio, kelebihan portofolio yaitu:
a.       Dapat mewakili cakupan tujuan bacaan dan tulisan siswa
b.      Mengukur pencapaian belajar tiap individu dengan memungkinkan adanya perbedaan anyar individu,
c.       Merupakan pendekatan kolaboratif dalam assessment
d.      Memiliki tujuan assessment dari siswa
e.       Menuju pada peningkatan, usaha dan pencapaian
f.       Memadukan antara assessment mengajar dan belajar.
g.      Portofolio mudah dibentuk agar sesuai dengan karakteristik investasi yang diinginkan dan tujuan yang ingin dicapai.

Disamping kelebihan, penilaian portofolio juga memiliki kelemahan diantaranya :
a.       Memerlukan waktu dan kerja keras.
b.      Penilaian portofolio memerlukan perubahan cara pandang.
c.       Penilaian portofolio memerlukan perubahan gaya belajar.
d.      Penilaian portofolio memerlukan perubahan sistem pembelajaran.
e.       Portofolio menuntut kemampuan yang cukup untuk melakukan konsistensi dalam  penskoran hasil karya antar siswa.
f.       Membutuhkan waktu yang banyak dalam melakukan assessment.
g.      Portofolio ini hanya berguna dalam meminimumkan resiko dan mempertahankan nilai investasi secara nominal dan tidak secara riel. Artinya daya beli dari uang yang diinvestasikan belum tentu sama setelah jangka waktu tertentu

F. Tahap Pelaksanaan Penilaian Portofolio
Terdapat sejumlah tahapan yang harus dilakukan dalam melaksanakan penilaian portofolio, diantaranya yaitu :
1.    Menentukan Tujuan Portofolio.
Pembelajaran adalah suatu proses yang bertujuan. Oleh karena itulah tahapan pertama dalam pelaksasnaan penilaian portofolio adalah merumuskan tujuan yang ingin dicapai. Dengan tujuan yang jelas dan terarah, akan memudahkan bagi guru untuk mengelola pembalajaran.

2.    Penentuan Isi Portofolio.
Isi dalam portofolio harus dapat menggambarkan perkembangan kemampuan siswa yang sesuai dengan standar kompetensi seperti yang dirumuskan dalam kurikulum. Untuk menghasilkan kompetensi tersebut, tentu saja proses pembelajaran yang dilakukan guru harus sesuai dengan kompetensi yang diharapkan. Siswa didorong untuk menghasilkan karya, bukan hanya berperan sebagai penerima informasi dari guru.

3.    Menentukan Kriteria dan Format Penilaian.
Kriteria penilaian disusun sebagai standar patokan untuk guru dalam menentukan keberhasilan proses dan hasil pembelajaran pada setiap aspek yang dinilai. Selanjutnya kriteria itu disusun dalam sebuah format penilaian yang jelas.
Kriteria penilain ditentukan dalam dua aspek pokok, yaitu kriteria untuk proses belajar dan kriteria untuk hasil belajar. Proses belajar misalnya ditentukan kriteria penilaian dari aspek kesungguhan menyelesaikan tugas, motivasi belajar, ketepatan waktu penyelesaian, dan lain sebagainya; sedangkan kriteria dilihat dari hasil belajar disesuaikan dengan isi yang menggambarkan kompetensi.
Apabila kompetensi yang diharapkan berupa produk atau hasil karya siswa, maka kriteria dan format penilaian ditetapkan sesuai dengan aspek-aspek yang terkandung dalam kompetensi itu sendiri.

4.    Pengamatan dan Penentuan Bahan Portofolio
Portofolio biasanya hanya memuat evidence yang dianggap dapat mewakili dan menggambarkan suatu perkembangan dan perubahan yang terjadi. Oleh karena itu, sebelum ditentukan evidence mana yang dianggap dapat dimasukkan ke dalam portofolio, terlebih dahulu perlu dilakukan pengamatan.
Pengamatan dan penentuan evidence sebaiknya dilakukan oleh guru dan siswa secara bersama-sama. Siswa perlu dimintai pertimbangan-pertimbangan serta alasan-alasannya evidence mana yang harus dimasukkan.hal ini penting untuk menjamin objektivitas penilaian portofolio.

5.    Menyusun Dokumen Poerofolio.
Manakala bahan-bahan portofolio telah ditentukan, langkah selanjutnya adalah menyusun bahan itu dalam dokumen portofolio, misalnya dalam bentuk folder. Folder itu sendiri perlu dilengkapi dengan:
a.       Identitas siswa;
b.      Mata pelajaran;
c.       Daftar isi dokumen;
d.      Isi dokumen beserta komentar-komentar baik guru maupun orang tua.
























DAFTAR RUJUKAN


------. 2010. Pengertian portofolio. Online tanggal 18 Februari 2011 file:///E:/downloads/pengertian-portofolio.htm
http://www.scribd.com/doc/27185513/Penilaian-Portofolio (Online diakses tanggal 22 Februari 2011)
Sanjaya, Wina. 2005. Pembelajaran Dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi, Bandung: Kencana

Wiyono, B .B, & Tumardi. 2003. Evaluasi Pembelajaran. Malang. Elang Emas

Wiyono, B. B, & Sunarni. 2009. Evaluasi Program Pendidikan dan Pembelajaran. Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Malang.